Ketikkan.Fahmi

Welcome to My Blog

Makalah Hukum Perjanjian Islam ( Karakteristik Hukum Perjanjian Islam)



MAKALAH

HUKUM PERJANJIAN ISLAM
“KARAKTERISTIK HUKUM PERJANJIAN ISLAM”



DISUSUN OLEH
KELOMPOK I
1. ZULFAHMI              :152 135 020 
2. RANI OKVIANI       :152 135 015 
3. SAPIAH                     :152 135 008





JURUSAN EKONOMI SAYRIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INTSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2015
 

KATA PENGANTAR

            Assalamu’alaikum Warahmatillohi Wabarakatuh

            Puji Syukur kehadirat Allah Swt. yang senantiasa memberikan taufik dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang merupakan tugas mata kuliah Hukum Perjanjian Islam yang berjudul “Karakteristik Hukum Perjanjian Islam”.
            Dan tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Dr. Zainuddin Mansyur, M.ag  yang telah mengajar dan membina kami dalam mata kulliah ini. Sehingga  pada akhirnya kami dapat membuat makalah ini.
            Apabila terdapat kekurangan dari makalah kami ini, baik dari segi narasi maupun penulisan isi mohon dimaafkan. Dan kami juga membutuhkan kritik dan saran dari teman-teman agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik kedepannya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh

Mataram, 23 Oktober 2015

                                                                                                                Penulis








DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................          i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................         ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.........................................................................................................         1
B.     Rumusan Masalah ...................................................................................................         1
C.     Tujuan Penullisan.....................................................................................................         1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Perjanjian Syari’ah.....................................................................         2
B.     Unsur, Rukun Dan Syarat Hukum Perjanjian Syari’ah............................................         3
C.     Asas Perjanjian dalam Hukum Islam........................................................................         4
D.    Prinsip Hukum Perjanjian.........................................................................................         7
E.     Perbedaan Hukum Perjanjian Syari’ah Dengan Hukum Perjanjian Konvensional...         8
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................................       10
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................       11















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui pelantara malaikat Jibril ke dalam hati rusulallah Muhammad bin Abdullah dengan lafadz yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulallah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya. Hukum yang terkandung dalam al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu: hukum-hukum I’itiqadiyyah, hukum moralitas dan hukum amaliyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf.
Dari klasifikasi al-Qur’an yang terbagai menjadi tiga, penulis berfokuskan pada al-Qur’an yang menyangkut hukum-hukum amaliayah. Disamping itu, hukum amaliyah terbagi menjadi dua yakni hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum muamalat. Dan disinilah penulis tekankan pada hukum-hukum muamalat khususnya tema mengenai hukum perjanjian Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hokum perjanjian syariah?
2.      Apa saja unsur, rukun dan syarat hukum perjanjian syari’ah?
3.      Jelaskan apa saja asas hokum perjanjian dalam Islam!
4.      Apa saja prinsip hokum perjanjian?
5.      Bagaimana perbedaan hokum perjanjian syariah dengan hokum perjanjian konvensional?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian hokum perrjanjian syariah
2.       Untuk mengetahui unsure, rukun, dan syarat hukum perjanjian syariah
3.      Untuk mengetaui asas hokum perjanjian syariah
4.      Untuk mengetahui prinsip hokum perjanjian
5.      Untuk mengetahui perbedaan hokum perjanjian syariah dengan humum perjanjian konvensioanal.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Perjanjian Syari’ah
Perjanjian atau perikatan secara etimologi perjanjian atau perikatan adalah ikatan. Sedangkan menurut terminology perjanjian atau perikatan adalah suatu perbuatan dimana seseorang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa lain. Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangangan harta kekayaan.
Sedangkan menurut hukum islam perjanjian berasal dari kata aqad عقد)) yang secara etimologi berarti “menyimpulkan”.
جمع طرفي حبلين و يشذّ احدهما بالأخر حتى يتصلا فيصبحا كقطعة واحدة
Artinya: “mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda”.
Sedangkan menurut istilah sesuatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/ kepastian pada dua sisinya.
ارتبط الايجاب بقبول على وجه مشروع يثبت الترضى
Artinya: “perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhan kedua belah pihak”.
Menurut Abdul Aziz Muhammad kata aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Dari sinilah kemudian makna aqad diterjemahkan secara bahasa sebagai: “menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakanya isi sumpah atau meninggalkanya. Demikan juga dengan janji halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkanya”.

Sedangkan dalam KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi: “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Di dalam melakukan suatu perjanjian itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana terdapat ijab qabul. Agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah sesuai dengan syariat islam. Yang mana terjadi pemindahan suatu kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang manfaatnya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan akad merupakan perikatan antara ijab dan qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan adanya akibat- akibat hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya. Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwasannya akad adalah suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan timbal balik.

B.     Unsur, Rukun Dan Syarat Hukum Perjanjian Syari’ah
1.      Unsur-unsur hukum perjanjian syari’ah
ü  Pertalian ijab Kabul
ü  Dibenarkan oleh syara`
ü  Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
2.      Rukun perjanjian syari’ah
Rukun akad dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bisa digunakan  untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua kehendak atau sesuatu yang bisa disamakan dengan hal itu dari tindakan isyarat atau korespondensi.
Rukun akad yaitu :
ü  Subjek akad (aqidain)
ü  Objek akad (ma’qud ‘alaih)
ü  Substansi akad (Maudhu’ul ‘aqdi)
ü  Ijab qabul
3.      Syarat perjanjian syari’ah
Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut :
a.       Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
b.      Harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
c.       Harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.
Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.

C.     Asas Perjanjian dalam Hukum Islam
1.      Asas Ibahah (mabda’ al-Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum hukum islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam andigum:
الاصل في المعاملة الاباحة حتى يدل على دليل لتحريم
Artinya: “Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.”
Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas: “Bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah”.
2.      Asas Kebebasan Beraqad (mabda’ huriyyah at-ta’aqud)
Hukum islam mengakui kebebasan beraqad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat aqad atau jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukan klausula apa saja ke dalam aqad yang dibuatnya sesuai dengan kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan batil. Namun demikian, di lingkungan madzhab-madzhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas-sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw. serta kaidah-kaidah hukum islam menunjukan bahawa hukum islam menganut asas kebebasan berkontrak (aqad). Asas kenbebasan beraqad ini merupakan konkritisasi lebih jauh dari sepesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibadah dalam mumalat.
3.      Asas Konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.
4.      Asas Janji Mengikat
5.      Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’awadhah)
Secara factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transasksi (antara apa yang diberikan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkanya suatu aqad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara krditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negative.
6.      Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan)
Asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang memberatkan. Apabila dalam pelaksanaan aqad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak yang bersangkutan sehingga memberatkanya, maka kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
7.      Asas Amanah
Asas Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritiqad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat sepesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditansaksikan, pihak lain menjadi mitra tarnsaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya.
8.      Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum islam, keadilan langsung merupakan perintah al-qur’an (QS. 5:8). Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern aqad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausula aqad tersebut, karena klausula aqad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaanya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.



D.    Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian
Ada beberapa prinsip hukum perjanjian yang sangat mendukung eksistensi suatu kontrak baku, yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai berikut:
1.      Prinsip kesepakatan
Meskipun dalam suatu kontrak baku disangsikan adanya kesepakatan kehendak yang benar-benar seperti diinginkan oleh para pihak, tetapi kedua belah pihak akhirnya juga menandatangani kedua kontrak tersebut. Dengan penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsi bahwa kedua belah pihak telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata sepakat telah terjadi.
2.      Prinsip Asumsi Resiko
Dalam suatu kontrak setiap pihak tidak dilarang untuk melakukan asumsi resiko. Artinya bahwa jika ada resiko tertentu yang mungkin terbit dari suatu kontrak tetapi salah satu pihak bersedia menanggung risiko tersebut sebagai hasil dari tawar menawarnya, maka jika memang jika risiko tersebut benar-benar terjadi, pihak yang mengasumsi risiko tersebutlah yang harus menagunggung risikonya. Dalam hubungan dengan kontrak baku, maka dengan menandatangani kontrak yang bersangkutan, berarti segala risiko apapun bentuknya akan ditanggung oleh pihak yang menandatanganinya sesuai isi dari kontrak tersebut.
3.      Prinsip Kewajiban membaca
Sebenarnya, dalam ilmu hukum kontrak diajarkan bahwa ada kewajiban membaca (duty to read) bagi setiap pihak yang akan menandatangani kontrak. Dengan demikian, jika dia telah menandatangani kontrak yang bersangkutan, hukum mengasumsikan bahwa dia telah membacanya dan menyetujui apa yang telah dibacanya.
4.      Prinsip Kontrak mengikuti kebiasaan
Memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak kontrak dibuat secara baku. Karena kontrak baku tersebut menjadi terikat, antara lain juga karena keterikatan suatu kontrak tidak hanya terhadap kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut, tapi juga terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan. Lihat pasal 1339 KUHPerdata Indonesia. Dan kontrak baku merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensinya mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi.

E.     Perbedaan Hukum Perjanjian Syari’ah Dengan Hukum Perjanjian Konvensional

Perjanjian dalam hukum islam dikenal dengan istilah al-aqd yang berarti perikatan, permufakatan. Secara terminology fiqih akad di definisikan dengan: :”pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qobul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”.
Sementara dalam KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal”.
Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan maka timbulah yang dinamakan kontrak atau oleh Hasanaddin Rahmad disebut perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua belah pihak.
Perbedaan pokok hukum perjanjian syariah dengan hukum perjanji konvensional :
1.      Landasan filosofis
ü  Hukum perjajian syariah : religious, transedental (ada nilai agama, berasal dari ketentuan Allah.
ü  Hukum perjanjian konvensional: sekuler (tidak ada nilai agama).
2.       Sifat
ü  Hukum perjanjian syariah: individual proporsional.
ü  Hukum perjanjian konvensional: individual / liberal.
3.      Ruang lingkup (subtansi)
ü  Hukum perjanjian syariah: hubungan bidimensional manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan manusia, benda, dan lingkungan (horizontal).
ü  Hukum perjanjian konvensional: hanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda (horizontal).
4.      Proses terbentuknya
ü  Hukum perjanjian syariah: adanya pengertian al-ahdu (perjanjian) – persetujuan - al – akhdu  (perikatan) (QS.Ali Imron: 76, QS. Al-Maidah: 1 ).
ü  Hukum perjanjian konvensional: adanya perngertian perjanjian (overeenkomst) dan perikatan (verbintebsis) (1313 dan 1233 BW).
5.      Sahnya perikatan
ü  Hukum perjanjian syariah: halal, sepakat, cakap, tanpa paksaan, ijab dan qobul.
ü  Hukum perjanjian konvensional: sepakat, cakap, hal tertentu, halal (1320 BW).
6.      Sumber
ü  Hukum perjanjian syariah: sikap tindak yang didasarkan syariat, persetujuan yang tidak melanggar syariat.
ü  Hukum perjanjian konvensional: persetujuan, undang-undang (1233 BW).




















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hukum perjanjian syariah adalah sesuatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/ kepastian pada dua sisinya.
2.      Unsur-unsur hukum perjanjian syari’ah pertalian ijab kabul, dibenarkan oleh syara, mempunyai akibat hukum terhadap objeknya. adapun rukun akad yaitu : subjek akad (aqidain), objek akad (ma’qud ‘alaih), substansi akad (maudhu’ul ‘aqdi), ijab qabul. dan syarat sahnya perjanjian secara syariah yaitu tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, harus sama ridha dan ada pilihan, harus jelas dan gambling.
3.      Asas perjanjian dalam hukum islam yaitu : asas ibahah (mabda’ al-ibahah), asas kebebasan beraqad (mabda’ huriyyah at-ta’aqud), asas konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah), asas janji mengikat, asas keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’awadhah, asas kemaslahatan (tidak memberatkan), asas amanah, dan asas keadilan.
4.      Prinsip-prinsip hukum perjanjian adalah prinsip kesepakatan, prinsip asumsi resiko, prinsip kewajiban membaca, dan prinsip kontrak mengikuti kebiasaan.
5.      Perbedaan pokok hukum perjanjian syariah dengan hukum perjanjian konvensional dapat dibedakan berdasarkan landasan filosofis, sifat, ruang lingkup (substansi), proses terbentuknya, sahnya perikatan, dan sumber.








DAFTAR PUSTAKA

al-Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Toha Putra Group, 1994.

Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2008.

0 Comment for "Makalah Hukum Perjanjian Islam ( Karakteristik Hukum Perjanjian Islam)"

Back To Top