A. Ta'widh
1.
Definisi Ta’widh
Kata al-ta’widh berasal dari kata ‘iwadha (عوض), yang
berarti ganti atau konpensasi. Sedangkan al ta’widh sendiri secara
bahasa berarti maengganti (rugi) atau membayar konpensasi. Adapun menurut
istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau
kekeliruan.
Adanya dhaman (tanggung jawab) untuk menggantikan atas sesuatu yang
merugikan dasarnya adalah kaidah hokum Islam, “bahaya (beban berat) dihilangkan,”
(adh-dhararu yuzal), artinya bahaya (beban berat) termasuk di dalamnya
kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui pemberian ganti rugi.
Kerugian disini adalah segala gnagguan yang menimpa seseorang, baik menyangkut
dirinya maupun menyangkut harta kekayaannya, yang terwujud dalam bentuk
berkurangnya kuantitas, kualitas ataupun manfaatnya.
Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang terjadi lebih banyak
menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari suatu akad atau
manyangkut fisik seseorang. Sedangkan yang menyangkut moril kemungkinan sedikit
sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian moril. Misalnya seorang dokter
dengan membukakan rahasia pasiennya yang diminta untuk disembunyikan sehingga
menimbulkan rasa malu pada pasien tersebut. Dalam kasus ini tentu saja yang
berhubungan dengan harta kekayaan atau seuatu yang telah dikeluarkan.
2.
Dasar hokum Ta’widh (Istidlal)
a.
Q.S
Al-Maidah : 1
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”
b.
Hadis
nabi riwayat ibnu majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu
‘Abbas, dan Malik dari Yahya :
لاضررولاضرار
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula
membahayakan orang lain.”
c.
Kaidah
Fikih :
“pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkan”.
“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan”
3.
Ketentuan Umum
a. Ganti rugi (ta`widh)
hanya
boleh dikenakan atas
pihak
yang dengan sengaja atau
karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan
akad
dan
menimbulkan kerugian pada pihak lain
b. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana
dimaksud
dalam ayat 1
adalah
kerugian
riil
yang
dapat
diperhitungkan
dengan jelas.
c. Kerugian riil sebagaimana dimaksud
ayat 2 adalah biaya-biaya
riil yg dikeluarkan
dalam rangka
penagihan
hak yg seharusnya
dibayarkan.
d. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost)
dalam transaksi tersebut dan bukan
kerugian yang
diperkirakan akan terjadi
(potential
loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity
loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
e. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang
piutang (dain), seperti salam, istishna’
serta murabahah dan ijarah.
f. Dalam akad Mudharabah
dan Musyarakah, ganti rugi hanya
boleh dikenakan oleh shahibul mal
atau salah
satu pihak dalam
musyarakah apabila bagian keuntungannya
sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
4.
Ketentuan Khusus
a. Ganti rugi yang diterima
dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
b. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
c. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
d. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
B. Ta’zir
1. Pengertian Ta’zir
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti
menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati,
membantunya, menguatkan, dan menolong. Dari pengertian tersebut yang paling
relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan pengertian
kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi
lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk
mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai dengan apa yang di
kemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wa dan Wahbah Zuhaili.
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan
oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk
hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat.
Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam
jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan
batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa).
Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
2.
Dasar Hukum
a.
Q.S
Al-Maidah : 1
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”
b.
Hadis
Shahih :
“ menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezhaliman…”
“menunda-nunda
pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan
pemberian sanksi kepadanya.”
3. Ketentuan Umum
a.
Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah
sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi
menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
b.
Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak
boleh dikenakan sanksi.
c.
Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran
dan/tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh
dikenakan sanksi.
d.
Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu
bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
e.
Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar
kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
f. Dana yang berasal dari denda dieruntukkan sebagai dana sosial.
f. Dana yang berasal dari denda dieruntukkan sebagai dana sosial.
C. Sanksi Kaitannya
Dengan Hutang Piutang.
Pengertian sanksi adalah metode untuk mencapai tujuan yaitu memberikan
efek jera bagi si pelaku pelanggaran.
Adanya sanksi berfungsi mencegah manusia dari
tindakan kriminal dan sebagai penebus dosa seorang muslim
dari azab Allah di
hari kiamat. Yang
dimaksud tindakan kriminal
adalah suatu perbuatan yang tercela.
Oleh karena itu, suatu perbuatan
tidak
dapat dikatakan sebagai
tindak
kriminal
kecuali jika syara’ telah menentukannya dengan nash sebagai perbuatan
tercela, maka barulah dianggap sebagai tindakan
kriminal. Sebagaimana telah ditetapkan
dalam
nash Al-Qur’an tentang
sanksi dalam Islam yang berfungsi
sebagai pencegah yang berbunyi :
Artinya
: “Dan Kami
telah
tetapkan terhadap
mereka
di
dalamnya
(At Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas)
dengan
jiwa,
mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun)
ada
qishasnya, Barang siapa
yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Maidah : 45)
Adapun pengertian hutang piutang asecara bahasa
hutang piutang (al-qordh)
berarti al-qoth’ (terputus). Harta yang dihutangkan kepada pemilik lain dinamakan qordh karena ia terputus dari pemiliknya. Sedangkan
secara istilah menurut Ahli Fiqih: hutang-piutang adalah transaksi antara dua
pihak, yang satu menyerahkan uangnya kepada yang lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi
kepadanya oleh pihak kedua dengan hal yang
serupa. Atau seseorang menyerahkan uang kepada pihak lain untuk dimanfaatkan dan kemudian orang ini mengembalikan penggantinya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam hal hutang-piutang, harus ada
satu pihak untuk
memberikan haknya
kepada orang lain,
dan adanya pihak tersebut
untuk
menerima haknya, untuk ditasyarufkan
yang
pengembaliannya ditanggungkan pada
waktu
yang akan datang.
Oleh karena itu Islam dalam hutang
piutang
mewajibkan
sikap adil dengan melunasi hutang jika sudah sanggup membayarnya, agar terlepas tanggung jawabnya. Jika seseorang
mampu membayar hutang tetapi ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim dan berhak menerima sanksi di dunia maupun di
akhirat. Demikian juga orang yang menunda membayar hutang ini ternyata orang yang sebenarnya mampu membayar hutang itu tepat pada waktunya, maka penundaan yang dilakukannya adalah satu kezaliman, yaitu kezaliman kepada orang yang memberi hutang kepadanya.
Orang kaya yang enggan membayar hutang
terhitung berbuat dzalim dan pantas mendapatkan ancaman siksa, berdasarkan sabda Nabi SAW, yang
berbunyi :
ﻢﻠﻇ ﻲﻨﻐﻟا ﻞﻄﻣ
Artinya : “Orang kaya yang mangkir
membayar hutang adalah
orang yang dzalim.”
Dalam hadits lain disebutkan :
Artinya : “Penundaan orang kaya dari hutangnya, menyebabkan ia pantas disebutkan aibnya dan layak diberi sanksi hukuman.”
D. Analisis Ta’widh dan Ta’zir Nasabah Bagi Mampu yang Menunda
Pembayaran
“… maka, barang siapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu,
balaslah ia, seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertaqwalah
kepada Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Al-baqarah : 194)
Dari penggalan ayat diatas menunjukkan bahwa
seseorang harus mengganti atas kerugian
yang telah dialami orang lain atas dirinya dan atas kerugian itu pun sesuai
dengan kerugian riil. Dalam dunia perbankan proses ini dikenal dengan ta’widh
yakni menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kerugian.
Sanksi dan denda yang diberikan kepada nasabah mampu yang
menunda pembayarannya adalah sebagai bentuk pendisiplinan nasabah agar
mendapatkan efek jera. Selain itu juga memberikan ta’widh atas penundaan dan
perpanjangan masa pembayaran apabila belum dilunasi ketika jatuh tempo, hal ini
sebagai bentuk mekanisme perbankan untuk mewaspadai kerugian pihak bank.
Apabila perpanjangan pembayaran atas jatuh tempo terjadi,
hal ini akan berdampak kepada penurunan kolektibilitas., sehingga pencadangan
penghapusan aktiva produktif akan
meningkat. Ini dapat mengurangi perhitungan keuntungan bagi lembaga keuangan
syariah. Oleh karena itu bank syariah selain mengenakan sanksi atau ta’zir
kepada nasabah, memberlakukan pula ta’widh atau ganti rugi atas kerugian secara
riil yang dialami oleh bank syariah selama masa perpanjangan itu. Jika tidak,
akan terjadi kezaliman terhadap salah satu pihak.
Dalam proses pengenaan ta’zir atau denda dana yang
diterima masuk ke dalam dana kebajikan bukan pendapatan bank syariah, adapun
dengan ta’widh masuk kedalam dana pendapatan bank syariah sesuai dengan
kerugian yang telah dikeluarkan. Hal inilah yang membedakan antara ta’zir
dengan ta’widh, ta’zir telah ditentukan besaran persentasinya sejak awal akad
dibuat sedangkan ta’widh tidak ditentukan di awal karena disesuaikan dengan
besaran nominal yang telah dikeluarkan oleh pihak bank syariah.
E. Studi kasus apakah dana yang masuk dari hasil ta’widh dan ta’zir
adalah riba atau tidak
Dalam Islam, seorang mukmin tidak akan hidup
tanpa petunjuk, Al- Qur'an menjelaskan nilai-nilai dan norma-norma
bagi semua tindakan
moral termasuk
hutang-piutang.
Pokok permasalahan yang
timbul adalah sanksi
apakah yang patut dipungut atau diterima
oleh nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran hutang, yang pada hal ini
denda yang ditetapkan oleh DSN-MUI termasuk ada
kaitannya dengan riba atau tidak. Secara harfiah riba adalah tambahan atau pertumbuhan, sedang menurut terminologi ilmu fiqh, riba adalah tambahan khusus yang dimiliki
salah satu dari dua
pihak yang bertransaksi
tanpa ada
imbalan tertentu.
Apabila
orang
yang
memberi
hutang memberi komitmen kepada si penghutang
apabila ia tidak mengembalikannya pada waktu yang ditentukan maka ia harus membayar sekian dan sekian,
maka
tidak
ada perdebatan
di kalangan
ulama bahwa
itu dilarang. Karena itu jelas-jelas riba. Baik itu
komitmen yang berlaku pada semacam hutang dan sejenisnya. Tetapi kalau ia
memberikan komitmen, apabila
orang yang
berhutang
itu tidak mau membayar pada waktu yang telah ditentukan maka ia harus memberikan sekian dan sekian untuk
si
Fulan, sebagai sedekah fakir miskin dan sejenisnya,
maka itu masalah
yang masih diperselisihkan
dalam hal ini. Yang popular bahwa kompensasi itu tidak perlu dibayar. Namun Ibnu Dinar berpendapat : “Harus dibayar.”
Selanjutnya beliau menyatakan : “Harus diketahui bahwa hal itu
selama komitmen tersebut tidak disahkan oleh hakim, namun kalau ada hakim yang
mensahkannya maka komitmen tersebut harus dilakukan. Hukumnya harus diberlakukan. Karena kalau pihak
hakim sudah
mensahkan
satu keputusan, harus diamalkan dan perbedaanpendapatpun dianggap sudah selesai.
Sedangkan ta’widh juga bukan termasuk riba dengan
beberapa alasan perbedaan antara ta’widh dengan riba sebagai berikut.
1.
Riba yang dimaksud dalam metode (أتقضي أم تربي)
adalah berbeda dengan ta'widh. Metode tersebut terjadi atas dasar persetujuan
antara kedua belah pihak (debitur dan kreditur) seandainya terjadi
keterlambatan maka akan terjadi penambahan, sedangkan ta'widh adalah sesuatu
hukuman yang dikenakan akibat dari kehilangan manfaah (tafwit al-manfaah) oleh
pihak kreditor.
2.
Riba yang terjadi pada masa terdahulu adalah satu syarat yang dikenakan
karena terjadi keterlambatan, sementara ta'wdih dikenakan untuk menghindarkan
kezaliman (رفع الظلم)
yang terjadi pada empunya harta bagi penundaan yang telah pun terjadi tanpa
kerelaan kreditur.
3.
Pengenaan Ta'widh adalah berbeda dengan riba jahiliyah. Riba Jahiliyah
tidak membedakan antara debitur yang mampu dan yang tidak mampu. Sedangkan
Islam membagi antara keduanya. Jika telah jelas bahwa debitur tersebut tidak
mampu, maka ta'widh tersebut tidak bisa dikenakan.
4.
Ta'widh adalah berbeda dengan Riba Jahiliyah. Ini karena ta'widh tidak
disyaratkan pada awal akad, sedangkan riba jahiliyah telah ditempatkan
syaratnya pada awal akad. Ta'widh hanya dikenakan ke atas kerugian nyata yang
dialami oleh kreditur selama periode keterlambatan pembayaran tersebut.
Labels:
resume
Thanks for reading Fikih Muamalah Kontemporer (Ta'widh dan Ta'zir Nasabah Mampu yang Menunda Pembayaran). Please share...!
0 Comment for "Fikih Muamalah Kontemporer (Ta'widh dan Ta'zir Nasabah Mampu yang Menunda Pembayaran)"