HUKUM PERJANJIAN/ KONTRAK DALAM ISLAM
A.
Pengertian
Perjanjian
Pengertian Perjanjian atau kontrak diatur Pasal
1313 KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : “perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikat dirinya terhadap satu
orang atau lebih.”
Definisi ini tidak begitu jelas karena dalam
rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Hal ini berarti bukan
perbuatan hukum saja yang termasuk ke dalam perjanjian, tetapi diluar perbuatan
hukum pun termasuk perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus
dicari dalam doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut
perjanjian adalah “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
akibat hukum.”
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van
Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah “ suatu hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.”
Di dalam Black’s Law dictinionary, yang
diartikan dengan contract is An agreement between two or more person which
creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak
adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah
kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu secara sebagian.
Inti definisi ini adalah persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan
kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.
Menurut Salim H.S., S.H., M.S., perjanjian atau
kontark merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan dengan
subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum ang
satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban
untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”
Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan satu hal. Dari peristiwa ini, timbullah
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dengan demikian hubungan antara perjanjian
dengan perikatan adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian
adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Sumber-sumber lain
ini mencakup denga nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari
perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.
Dengan sekian banyak pengertian perjanjian yang
telah dipaparkan di atas, ada tiga unsur yang dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
a)
Ada orang yang menuntut, atau dalam istilah
bisnis biasa di sebut kreditor
b)
Ada orang yang dituntut, atau yang dalam
istilah bisnis biasa disebut debitur
c)
Ada sesuatu yang dituntut, yaitu prestasi.
Dengan terikatnya para pihak dalam suatu
perjanjian, para pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku bagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian yang sah harus memenuhi empat syarat, yaitu :
a)
Perizinan yang bebas dari orang-orang yang
mengikat diri
b)
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c)
Suatu hal tertentu
d)
Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya tidak
terlarang
Contoh
Perjanjian (aqad) dalam Hukum Islam
Contoh perjanjian atau perikatan yang sahih
adalah:
a)
Al-Ba’i (jual beli)
b)
Hawalah (pemidahan
hutang)
c)
Syirkah (perkongsian)
d)
Mudharabah (Kerjasama
bagi hasil)
e)
Wakalah (perwakilan)
f)
Dhaman (Garansi)
g)
Ijarah (sewa-menyewa)
B.
Syarat-syarat Untuk Sahnya Perjanjian
Adapun syarat sahnya persetujuan-persetujuan
menurut Pasal 1320 adalah sebagai berikut:
a)
Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak
b)
Cakap untuk membuat suatu perikatan atau
perjanjian
c)
Suatu hal tertentu yaitu sudah jelas objek
dalam perjanjian
d)
Sesuatu yang halal
C.
Asas-Asas
Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian terdapat sepuluh asas
penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta
sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, asas kepribadian,
perjanjian batal demi hukum, keadaan memaksa (overmacht), asas
canseling, asas obligatoir, asas zakwaarneming. Kesepuluh asas itu akan
dijelaskan berikut ini.
a)
Asas Kebebasan Berkontrak
Maksud dari Asas ini adalah para pihak bebas
membuat kontrak dan menentukan sendiri isi kontrak tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kebiasaan dan didasari
atas iktikad baik. Dengan demikian, asas ini mengandung makna bahwa kedua pihak
bebas dalam menentukan isi perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundangan. Karena adanya asas
kebebasan berkontrak ini, dalam praktik ini timbul jenis-jenis perjanjian yang
pada mulanya tidak diatur dalam KUHPerdata.
b)
Asas Konsensualisme
Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika
tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi. Asas
keonsensualisme ini merupakan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian
sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1320 KuhPerdata. Tanpa adanya
kesepakatan ini, perjanjian tersebut batal demi hukum. kesepaka an maksudnya
adalah seiya-sekata tentang apa yang diperjanjiakan. Dan kesepakatan ini
dicapai dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dan tekanan salah satu pihak.
c)
Asas Kepastian Hukum
Secara harfiah berarti janji itu mengikat. Yang
dimaksudkan adalah bahwa jika suatu kontrak sudah dibuat secara sah oleh para
pihak, maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak, bahkan mengikatnya
kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut sama kekuatannya dengan
mengikatnya sebuah undang undang yang dibuat parlemen dan pemerintah.
d)
Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari pasal
11338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari
para pihak.
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam,
yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi,
orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad
baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran
yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.
Arrest H. R. Di Negeri Belanda memberikan
peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan
kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori
kehendak. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam
perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak
akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad
baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah
pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar
dari pihak lain.
e)
Asas Kepribadian
Asas kepribadian memrupakakan asas yang menentukan
bahwa seseorang yang akan melakuakan dan atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal
1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Ini bararti bahwa perjanjian yan dibuat oleh para pihak hanya berlakubagi
mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana
yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang berbunyi: “Dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian
dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengadung
suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang
dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat
yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya
mengatur bagi diri sendiri, tetapi juga untuk kepntingan ahli warisnya dan
untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
f)
Asas Perjanjian Batal demi Hukum
Yaitu, suatu asas yang menyatakan bahwa suatu
perjanjian akan batal demi jika tidak memenuhi syarat objektif.
g)
Asas Keadaan memaksa
Yaitu suatu kejadian yang tak terduga dan
terjadi di luar kemampuannya sehingga terbebas dari keharusan membayar ganti
kerugian.
h)
Asas Canseling
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa
perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalan.
i)
Asas Obligatoir
Asas obligatoir suatu kontrak maksudnya bahwa setelah
sahnya suatu kontrak, kontrak tersebut sudah mangikat, tetapi baru sebatas
menimbulkan hal dan kewajiban di antara para pihak.
j)
Asas Zakwaarnemig
Dimana bagi seseorang yang melakukan pengurusan
terhadap benda orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, ia harus
mengurusnya sampai selesai.
D.
Unsur-unsur
Perjanjian
Dalam suatu kontrak dikenal tiga unsur, yaitu
sebagai berikut.
a)
Unsur Esensiali
Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada
dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini
maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual-beli harus ada
kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang
dan jasa dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena
tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.
b)
Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur yang telah
diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam
kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini
merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika
dalam kontrak tidak diperjanjiakan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis
berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat
tersembunyi.
c)
Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti
ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh,
dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak
debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen perbulan
keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan
berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor
tanpa melalui pengadilan.
d)
Penafsiran Kontrak
Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan
penafsiran, kalimat-kalimat yang ada sudah seharusnya menjelaskan
klausula yang ada. Karena itu jika semuanya sudah jelas tidak memerlukan
penafsiran, bahkan tidak boleh jika penafsiran tersebut akan mempunya arti
menyimpang dari yang tersirat tersebut. Dalam ilmu hukum kontrak disebut
“Doktrin Kejelasan Makna” (plain meaning rules), doktrin ini iakui sepenuhnya
oleh KUHPerdata lewat pasal 1342, yang menyatakan bahwa:
Jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas,
maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran.
Namun demikian kontrak itu bermacam-macam
ragamnya maka sangat mungkin akhirnya dibutuhkan kejelasan-kejelasan lebih
lanjut. Disamping itu, karena kontrak merupakan ungkapan hati dari para pihak
dengan menggunakan kata-kata yang pada prinsipnya terbatas, sehingga biasanya
hampir tidak ada kontrak yang tidak memerlukan penafsiran.
E.
Prinsip-Prinsip
Hukum Kontrak
Ada beberapa prinsip hukum kontrak yang sangat
mendukung eksistensi suatu kontrak baku, yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai
berikut:
a)
Prinsip
kesepakatan
Meskipun dalam suatu kontrak baku disangsikan
adanya kesepakatan kehendak yang benar-benar seperti diinginkan oleh para
pihak, tetapi kedua belah pihak akhirnya juga menandatangani kedua kontrak
tersebut. Dengan penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsi bahwa kedua
belah pihak telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kata sepakat telah terjadi.
b)
Prinsip Asumsi
Resiko
Dalam suatu kontrak setiap pihak tidak dilarang
untuk melakukan asumsi resiko. Artinya bahwa jika ada resiko ada resiko
tertentu yang mungkin terbit dari suatu kontrak tetapi salah satu pihak
bersedia menanggung risiko tersebut sebagai hasil dari tawar menawarnya, maka
jika memang jika risiko tersebut benar-benar terjadi, pihak yang mengasumsi
risiko tersebutlah yang harus menagunggung risikonya. Dalam hubungan dengan
kontrak baku, maka dengan menandatangani kontrak yang bersangkutan, berarti
segala risiko apapun bentuknya akan ditanggung oleh pihak yang
menandatanganinya sesuai isi dari kontrak tersebut.
c)
Prinsip
Kewajiban membaca
Sebenarnya, dalam ilmu hukum kontrak diajarkan
bahwa ada kewajiban membaca (duty to read) bagi setiap pihak yang akan
menandatangani kontrak. Dengan demikian, jika dia telah menandatangani kontrak
yang bersangkutan, hukum mengasumsikan bahwa dia telah membacanya dan
menyetujui apa yang telah dibacanya.
d)
Prinsip Kontrak
mengikuti kebiasaan
Memang sudah
menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak kontrak dibuat secara baku. Karena
kontrak baku tersebut menjadi terikat, antara lain juga karena keterikatan
suatu kontrak tidak hanya terhadap kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut,
tapi juga terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan. Lihat pasal 1339 KUHPerdata
Indonesia. Dan kontrak baku merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu
lintas perdagangan dan sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga
eksistensinya mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi.
F.
Pelaksanaan
Hukum Perjanjian Syariah dalam Perbankan Syari’ah
Bank Syariah di Indonesia didirikan pada tahun
1992, pemerintah telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah diatur
dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan. Dalam pasal 1 angka 3, disebutkan pengertian bank umum
adalah “bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensionala dan atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran”. Sedangkan, yang dimaksud dengan prinsip syariah, disebutkan
dalam pasal 1 angka 13, yaitu “aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha,
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah”. Di Indonesia
berlaku dua sistem perbankan, yaitu sistem konvensional yang menggunakan sistem
bunga dan sistem syariah yang berlandaskan pada ketentuan Islam. Kegiatan usaha
yang dapat dilakukan oleh bank syariah diatur dalam pasal 36 Peraturan Bank
Indonesia No. 6/24/PBI/2004. Kegiatan-kegiatan itu antara lain sebagai berikut:
a)
Penghimpunan Dana
·
Giro berdasarkan prinsip wadi’ah
Giro adalah simpanan dana nasabah di bank yang
dapat diambil sewaktu-waktu dengan menggunakan cek atau alat sejenis lainnya.
Pada dasarnya, wadi’ah merupakan akad titipan yang tidak memberikan wewenang
kepada penerima titipan untuk menggunakan benda yang dititipkan. Penerima
titipan berhak untuk mendapatkan upah untuk itu. Bagi bank yang menjadi pihak
yang menerima titipan dengan seijin nasabahnya sebagai pihak yang menitipkan,
bank dapat menggunakan dana milik nasabah dengan menjamin, bahwa bank akan mengembalikan
dana itu secara utuh. Bank memiliki tanggung jawab atas segala resiko yang
terjadi pada dana tersebut. Dalam kondisi titipan seperti ini, titipannya
disebut dengan wadi’ah yad adh-dhamanah. Sedangkan untuk titipan yang
penerima titipan tidak berhak untuk menggunakan benda titipan disebut dengan wadi’ah
yad al-amanah. Dari proses wadi’ah yad adh-dhamanah ini, tentunya
bank tidak memperoleh upah dari nasabah atas jasa titipannya, tetapi ia berhak
mendapatkan semua keuntungan yang diperoleh dari hasil penggunaan dana nasabah
tersebut. Sedangkan bagi nasabah, selain ia mendapatkan jaminan keamanan
terhadap dananya, biasanya ia memperoleh intensif dari bank. Pemberian intensif
oleh bank tidak diperjanjikan diawal akad dan jumlahnya tidak ditetapkan terlebih
dulu.
·
Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau
mudharabah
Tabungan adalah simpanan dana nasabah di bank
yang dapat diambil sewaktu-waktu oleh nasabah dengan menggunakan buku tabungan
atau alat lainnya tetapi tidak menggunakan cek. Prinsip wadi’ah pada tabungan
digunakan sama halnya dengan produk giro yang telah diuraikan diatas.
Prinsip mudharabah pada tabungan adalah antara
nasabah dan bank mengadakan akad mudharabah, yaitu nasabah menyimpan sejumlah
dana kepada bank untuk dikelola oleh bank. Dalam hal ini, hasil yang diperoleh
dari pengelolaan dananya akan dibagikan kepada nasabah sebagai pemilik dana
(shahibul maal) dan bank sebagai pengelola dana (mudharib). Besar bagi hasil
(nisbah) tersebut telah disepakati di awal akad.
·
Deposito berjangka berdasarkan prinsip
mudharabah
Deposito berjangka merupakan penyimpanan dana
oleh nasabah kepada bank dengan ketentuan waktu penarikan dana adalah dalam
jangka waktu tertentu sejak penyetoran dananya, seperti 30 hari, 90 hari, dan
sebagainya. Dalam hal ini, perikatan yang digunakan adalah mudharabah. Nasabah
sebagai shahibul maal dan bank sebagai mudharib saling terikat untuk melakukan
bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan di awal akad.
b)
Penyaluran Dana
·
Prinsip Jual Beli Murabahah
Yaitu jual-beli dengan adanya tambahan dari
harga asal. Nasabah yang memiliki kebutuhan benda tertentu dapat mengajukan
permohonan kepada Bank Syariah untuk membeli benda tersebut. Benda yang telah
dibeli oleh bank, kemudian akan dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang
lebih tinggi dari harga asal. Kelebihan harga ini tentunya didasarkan pada
kesepakatan diantara keduanya. Pembayaran yang dilakukan oleh nasabah biasanya
dalam bentuk angsuran, meskipun tidak dilarang untuk membayar secara tunai.
Sistem ini biasanya dilakukan untuk pembiayaan barang-barang investasi seperti
melalui letter of credit (L/C) dan pembiayaan persediaan sebagai modal
kerja.
·
Prinsip Jual Beli Istishna
Bank sebagai penjual (shani’) mendapat pesanan
dari nasabah sebagai pembeli (mustashni’) dengan cara pembayaran dimuka, secara
angsuran, atau ditangguhkan pada waktu tertentu. Barang yang dibutuhkan oleh
nasabah tidak seketika itu ada, tetapi harus dilakukan proses pembuatannya
terlebih dahulu. Bank akan melakukan pemesanan kembali kepada perusahaan
industri untuk memperoleh barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Dalam hal jual
beli yang kedua ini disebut juga dengan istishna parallel. Keuntungan yang
diperoleh oleh bank adalah berupa selisih harga dari nasabah dengan harga jual
kepada pembeli. Model perikatan istishna bisa dilakukan pada pembiayaan
persediaan (inventory financing) sebagai modal kerja.
·
Prinsip Jual Beli Salam
Salam hamper sama dengan istishna. Pembayaran
harga pada salam dilakukan pada saat akad dilakukan. Sifat akad dari salam
adalah mengikat secara asli (thabi’i), yaitu mengikat semua pihak sejak awal.
Pada perikatan salam, nasabah berkedudukan sebagai pembeli (muslam), sedangkan
bank sebagai penjual (muslam ilaih). Bank juga dapat melakukan salam paralel
dengan produsen. Pada salam paralel bank adalah muslam dan produsen adalah
muslam alaih.
·
Prinsip Bagi Hasil Mudharabah
Bank dan nasabah dapat melakukan kerjasama
dalam mengadakan suatu usaha. Dalam mudharabah, bank sebagai pemilik dana
(shahibul maal) menyediakan sejumlah dana untuk suatu usaha yang akan dikelola
oleh nasabah (mudharib). Pada awal akad, keduanya telah menyepakati nisbah yang
akan dibagikan dari hasil keuntungan yang diperoleh dari usahanya. Jenis
mudharabah yang dapat digunakan adalah mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah. Dalam mudharabah mutlaqah, pihak pemodal tidak berhak mengelola
persekutuan secara mutlak. Namun pihak mudharib lah yang berhak mengelola,
sebab mudharabah merupakan percampuran antara badan pengelola (pekerja) dengan
modal, tetapi bukan pemilik modal. Sehingga pemodal layaknya pihak yang berada
di luar persekutuan.
Mudharabah muqayyadah adalah akad syirkah yang
mengharuskan pekerja (mudharib) untuk mengikuti ketentuaan maupun pengarahan
yang ditetapkan oleh pemilik modal (shahibul maal) dalam mengelola usaha.
Dengan demikian, dalam persekutuan mudharabah ini, kewenangan yang diberikan
kepada pihak mudharib bersifat terbatas.
·
Prinsip Bagi Hasil Musyarakah
Syirkah yaitu akad perjanjian antara
orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Dalam kerjasama ini
masing-masing pihak (bank dan nasabah) memberikan kontribusi dana untuk suatu
usaha tertentu dengan keuntungan dan resiko yang terjadi akan ditanggung
bersama. Aplikasinya dalam perbankan, musyarakah dapat dipergunakan untuk
pembiayaan proyek dan juga pemiayaan modal ventura
·
Prinsip Sewa menyewa Ijarah
Ijarah adalah pengambilan manfaat suatu benda,
jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain
dengan terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari
benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang
seperti kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga
berupa karya pribadi seperti pekerja.
Dalam praktik, biasanya disebut dengan operational
lease, yaitu bank menyewakan barang yang dibutuhkan nasabah dalam rangka
pemenuhan kebutuhan usahanya. Nasabah memiliki kewajiban membayar harga sewa
kepada bank.
·
Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT)
Sering kali barang yang disewakan kepada
nasabah akan merepotkan bank dalam hal pemeliharaanya. Oleh karena itu, bank
dapat memberikan opsi kepada nasabah untuk menjadi pemilik atas barang setelah
masa sewa telah berakhir. Hal ini yang diaplikasikan dalam bentuk financial
lease with purchase option, baik dalam bentuk pembiayaan produktif berupa
investasi maupun pembiayaan konsumtif.
·
Prinsip Pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada
seseorang, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya
menghutang uang Rp50.000,- akan dibayar Rp50.000,- pula. Perikatan jenis ini
bertujuan untuk menolong, bukan sebagai perikatan yang mencari untung
(komersil). Oleh karena itu, bank hanya akan mendapatkan kembali sejumlah modal
yang diberikan kepada nasabah. Bank syariah dapat menyediakan fasilitas ini
dalam bentuk sebagai berikut:
o
Sebagai dana talangan untuk jangka waktu
singkat, maka nasabah akan mengembalikannya dengan cepat, seperti compensating
balance dan factoring (anjak piutang)
o
Sebagai fasilitas untuk memperoleh dana cepat
karena nasabah tidak bisa menarik dananya, misalnya karena tersimpan dalam
deposito.
o
Sebagai fasilitas membantu usaha kecil atau
sosial.
·
Jasa Pelayanan Wakalah
Berwakil ialah menyerahkan pekerjaan yang
dikerjakan kepada yang lain, agar dikerjakannya (wakil) semasa hidupnya (yang
berwakil). Perwakilan merupakan bentuk pemberian kuasa kepada pihak lain untuk
melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam pasal 1792 KUH Perdata, yang dimaksud
pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan
kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan
Bank syariah disini sebagai wakil dari nasabah
sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini
bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut.
Sebagai contoh, bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan
listrik atau telepon kepada perusahaan listrik atau telepon. Contoh lainnya
adalah bank mewakili sekolah atau universitas sebagai penerima biaya pembayaran
SPP dari para pelajar atau mahasiswa untuk biaya studi
·
Jasa Pelayanan Hawalah
Hiwalah ialah memindahkan hutang dari
tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain. Hiwalah disyari’atkan untuk
memberikan kemudahan bagi hamba-hambaNya dalam kehidupan muamalah. Melalui akad
hiwalah, memungkinkan seseorang yang mengalami kesulitan untuk mengalihkan
sesuatu yang masih menjadi tanggungannya (hutang) kepada pihak lain.
Dalam praktiknya, perikatan ini biasanya
dilakukan pada produk perbankan berikut ini:
o
Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang
memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank
lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
o
Post dated check, di mana bank
bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
o
Bill discounting. Secara
prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill
discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee
tidak didapati dalam kontrak hawalah.
·
Jasa Pelayanan Kafalah
Menurut Pasal 612 HUH Perdata Islam hak jaminan
(kafalah) adalah suatu bentuk penambahan kewajiban kepada suatu tanggungan yang
berkaitan dengan adanya permintaan atas barang tertentu; artinya seseorang
menggabungkan dan mengikatkan dirinya kepada orang lain, dengan sesuatu yang
berkaitan dengan adanya penambahan kewajiban bagi orang lain tersebut
Pada perikatan ini, bank berkedudukan sebagai
pemberi jaminan (kafiil) atas nasabahnya (makful), kemudian
nasabah akan mendapatkan upah atas jasanya tersebut selain harus mengembalikan
dana yang telah dikeluarkan oleh bank kepada penerima jaminan. Contohnya, kafalah
dapat dilaksanakan pada performance bonds atau jaminan prestasi.
·
Jasa Pelayanan Rahn
Perjanjian gadai adalah merupakan perjanjian
dua pihak, yaitu orang yang berhutang (debitur), pemberi gadai, yaitu orang
yang menyerahkan benda yang dijadikan objek perjanjian gadai serta orang yang
berpiutang atau pemegang gadai (kreditur).
Rahn merupakan
perikatan pemberian jaminan yang diberikan oleh nasabah atas pinjamannya dari
bank. Dalam bank syari’ah, rahn dapat digunakan sebagai produk pelengkap dan
produk tersendiri. Produk pelengkap itu yaitu pada saat nasabah melakukan
perikatan dalam bentuk lain (seperti mudharabah, murabahah, dan lainnya), maka
bank dapat meminta nasabah untuk menyerahkan jaminan. Sebagai produk
tersendiri, yaitu sering kali dikenal dengan istilah gadai. Nasabah yang
membutuhkan biaya dapat menggadaikan barang miliknya. Barang ini kemudian dapat
dinilai harganya, sehingga bank dapat memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai
dengan nilai barang gadai tersebut. Dalam hal ini, bank akan memperoleh
keuntungan berupa biaya penitipan dan pemeliharaan atas barang gadai tersebut.
Apabila pinjaman telah lunas, maka barang gadai akan dikembalikan kepada
nasabah yang bersangkutan
G.
Konsekuensi
Perjanjian Dalam Prespektif Hukum Islam
Perjanjian dalam prespektif hukum islam harus
dipenuhi sesuai dengan Firman Allah:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î
4
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu aqad-aqad (perjanjian) itu. (Q.S.
Al-Maidah:1)
Al-Biaqi mengemukakan hubungan yang lebih
rinci. Menurut beliau pada akhir surat an-Nisa: 164, telah diuraikan bahwa
orang-orang Yahudi yang melakukan kedzaliman dengan mengabaikan perjanjian
mereka dengan Allah swt, telah dijatuhi sanksi; yakni berupa diharamkanya atas
mereka (orang-orang Yahudi) yang baik-baik yang telah dihalalkan bagi merka,
Al-anam: 45.
Konsekuwensi dari perjanjian itu adalah
Penyerahan. Penyerahan adalah langkah pertama dalam pembuatan perjanjian.
Penyerahan ini dibuat dalam berbagai cara diantaranya:
a)
Disampaikan secara verbal (bi al-kalam). Bentuk
penyerahan ini dilakukan dalam pertemuan langsung.
b)
Disampaikan secara tertulis (bi al-Kitabah).
Bentuk penyerahan ini menjadi efektif segera setelah surat yang dibuat itu
menunjukan bahwa orang tersebut menyerahkan dan tetap akan menerima sampai
diterima oleh penerima. Penyerahan ini harus dilakukan secara langsung.
c)
Dapat dilakukan dengan pesan yang dikirim
dengan seseorang. Orang yang jujur dan terpercaya, dan penyerahan itu diterima
dengan penerimaan yang baik. Para ulama Maliki, Syafi’i, Hanbali, berpendapat
bahwa penyerahan itu harus dilakukan oleh pemilik harta dalam mengembalikan
konsiderasi. Namun para ulama Hanafi mengatakan bahwa penyerahan itu berasal
dari satu kelompok.
d)
Dibuat melalui tanda-tanda dan terutama lewat
isyarat pada semua kasus di mana orang yang menyerahkan itu adalah tuli atau
bisu atau ketika penerima tidak memahami bahasa orang yang menyerahkan Mazhab
Maliki berpandangan sebagai sahih tanda-tanda yang diketahui yang dibuat
seseorang yang normal sekalipun karena ide yang penting adalah bahwa orang yang
menyerahkan itu harus mengkomnikasikan penyerahanya.
e)
Dibuat dengan perbuatan (fi’il). Penyerahan
yang dibuat lewat perantara barang adalah sahih menurut Mazhab Maliki, namun
penyerahan itu tidak dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
H.
Pembatalan
Perjanjian
Waktu antara keputusan menyerahkan dan menerima
ini disebut Majelis al-Aqad. Para ulama Hanafi dan Maliki menyatakan bahwa
orang yang menyerahkan mempunyai pilihan untuk membatalkan penyerahannya
sebelum barang yang diperdagangkan itu diterima. Begitu pula orang yang
menerima mempunyai kesempatan untuk menata mentalnya apakah menerima atau
menolak penyerahan itu, kiranya adil kalau orang yang menyerahkan itu mempunyai
hak untuk membatalkan penyerahanya sebelum penerimaan diputuskan. Mungkin
sekali bahwa penyerahan yang dilakukan oleh orang tersebut boleh jadi salah
atau lupa memasukan sesuatu, karenanya orang tersebut boleh cepat-cepat
membatalkan penyerahanya sementara kelompok yang lain sedang sibuk menata
pikiranya apakah menerima atau menolak penyerahan itu.
Pembatalan itu dibolehkan sesuai dengan Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
من اقال مسلما اقاله الله عشرته
Artinya: “Barang siapa menerima permintaan seorang
muslim untuk membatalkan aqad maka Allah akan mengampuni kesalahnya” (HR. Abu
Dawud dan Ibu Majah)
Dalam fiqh pembatalan aqad disebut iqalah. Iqalah
boleh dilakukan sebelum barang diterima. Di dalamnya tidak ada khiyar majelis,
khiyar syarat, atau suf’ah (perioritas sekutu atau tetangga untuk membeli
barang) karena itu bukan jual beli.
Apabila aqad telah dibatalkan maka
masing-masing dari kedua orang beraqad mengambil kembali apa yang sebelumnya
dimilikinya. Pembeli mengambil uang, penjual mengambil barang yang dijual.
Apabila barang yang dijual telah rusak, atau orang yang melakukan aqad telah
mati, atau harga telah naik atau turun maka iqalah (pembatalan aqad) tidak sah.
Labels:
resume
Thanks for reading RESUME HUKUM PERJANJIAN/ KONTRAK DALAM ISLAM. Please share...!
0 Comment for "RESUME HUKUM PERJANJIAN/ KONTRAK DALAM ISLAM"