Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Warahmatillohi Wabarakatuh
Puji Syukur kehadirat Allah Swt.
yang senantiasa memberikan taufik dan hidayahnya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang merupakan tugas mata kuliah Studi Hadis Ekonomi
yang berjudul “ Hadis-Hadis Mengenai Riba”.
Dan terima kasih pula kami ucapkan
kepada seluruh teman-teman yang telah memberikan motivasi agar makalah kami ini
cepat selesai, yang pada akhirnya kami dapat menyelesaikannya tepat waktu.
Apabila terdapat kekurangan dari
makalah kami ini, baik dari segi narasi maupun penulisan isi mohon dimaafkan.
Dan kami juga membutuhkan kritik dan saran dari teman-teman agar kami dapat
membuat makalah yang lebih baik kedepannya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh
Mataram, 10 Nopember 2014
Kelompok VII
Daftar Isi
Kata Pengantar...................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang........................................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah...................................................................................................... 1
C.
Tujuan......................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A.
Pengertian
Riba.......................................................................................................... 2
B.
Macam-macam
Riba.................................................................................................. 2
C.
Hadis-hadis
Mengenai Riba....................................................................................... 4
D.
Hikmah
Pelarangan Riba.......................................................................................... 8
E.
Hukum
Riba............................................................................................................... 9
BAB III Kesimpulan.............................................................................................................. 10
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Selain fungsi
hadis yang gunanya memperkuat apa-apa yang telah diterangkan dalam al-Qur’an
juga untuk mentakhsis ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Disini
peran hadis juga tidak kalah pentingnya dengan al-Qur’an. Apalagi kita sebagai
mahasiswa IAIN yang merupakan kampus Islam haruslah mamapu mengkombinasikan
ilmu-ilmu sosial atau sains dengan Islam yang diperkuat dalam al-Qur’an.
Hadis-hadis yang terkait dengan ekonomi sangatlah banyak, baik itu
tentang masalah jual-beli, utang piutang, kerja sama, riba dan lain-lainnya.
Perlunya mengetahui hadis-hadis yang berkaitan dengan ekonomi ini adalah agar dalam
melakukan kegiatan ekonomi kita memiliki pedoman untuk ayat-ayat al-Qur’an yang
masih bersifat global.
Berhubung dengan ini, kami akan membahas mengenai hadis-hadis
tentang riba dalam melakukan kegiatan ekonomi. Inilah sedikit mengenai latar
belakang hadis ekonomi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan riba?
2.
Apa
sajakah macam-macam riba?
3.
Apa
hadis mengenai riba?
4.
Apa
hikmah pelarangan riba?
5.
Bagaimana
hukum riba?
C.
Tujuan
1.
Mengetaui
pengertian riba.
2.
Mengetahui
macam-macam riba.
3.
Mengetahui
hadis-hadis mengenai riba.
4.
Mengetahui
hikmah pelarangan riba.
5.
Mengetahui
hukum riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Riba
Secara bahasa riba artinya tambahan (ziyadah) atau berarti
tumbuh dan membesar (Syahbah,1996:40). Riba (usury) adalah (1)
melebihkan keuntungan (harta) dari salah satu pihak dalam transaksi jual beli
atau pertukaran barang yang sejenis tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan
itu (riba fadl); atau pembayaran hutang yang harus di lunasi oleh orang
yang berhutang lebih besar daripada jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap
tenggang waktu yng telah lewat(riba nasi’ah).
Secara terminologi fiqh : “ Tambahan khusus yang dimiliki
salah satu dari dua pihak yang terlibat transaksi tanpa ada imbalan tertentu”.
Menurut Muhammad Abduh: Penambahan yang disyaratkan oleh pemilik harta kepada
peminjam hartanya karena pengunduran janji pembayaran dari waktu yang telah
ditentukan”.
Kaum muslimin semua sepakat bahwa
asal hukum riba adalah haram, terutama riba pinjaman atau hutang .
Demikian pula para ulama mazhab, meskipun terjadi perbedaan dalam hal
aplikasinya.
Bentuk aplikasi
riba dimasa Jahiliyah :
1.
Riba
pinjaman, yakni direfleksikan dalam suatu kaidah “ tangguhkanlah hutangku, aku akan
menambahnya”.
2.
Peminjaman
dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus diibayar dengan
bunganya. Hutang dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
3.
Pinjaman
berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan secara angsuran.
B.
Macam-macam
Riba
Umumnya
para ulama membagi riba menjadi dua, yakni riba fadl dan riba nasi’ah.
a.
Riba
Fadl
Riba fadl
adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya
tambahan pada salah satu benda tersebut. Islam telah mengharamkan jenis riba
ini dalam transaksi karena khawatir pada akhirnya orang akan jatuh pada riba
yang hakiki yaitu riba an-Nasi’ah yang sudah menyebar dalam tradisi
masyarakat Arab. Dalam konteks inilah Rasululloh SAW. bersabda :
لاتَبِيْعُوْا
الدًّهْمَ بِدِرْهَمَيْنِ فَاِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّمَا, الرَّمَا
مَعْنَاهُ الرِّبَا
Janganlah
kalian menjual satu dirham dengan dua dirham sesungguhnya saya takut terhadap
kalian dengan rima, dan rima artinya riba.
Karena perbuatan ini bisa mendorong
seseorang untuk melakukan riba yang hakiki, maka menjadikan hikmah Allah dengan
mengharamkannya sebab ia bisa menjerumuskan mereka kedalam perbuatan haram.
b.
Riba
Nasi’ah
Riba nasi’ah adalah pembayaran hutang yang harus dilunasi oleh
orang yang berhutang lebih besar dari jumlah pinjamannya sebagai imbalan
terhadap tenggang waktu yang telah lewat waktu.
Riba nasi’ah dalam sistem ekonomi
modern biasanya dihubungkan dengan bunga bank. Banyak ahli hukum dan ekonomi
Islam yang memasukkan bunga bank kedalam kategori riba nasi’ah, karena tembahan
beban yang harus ditanggung oleh orang yang berhutang lebih dari hutang
pokoknya, baik tambahan itu sedikit ataupun banyak. Dengan demikian bunga bank
dianggap terlarang (riba). ahmad Hassan
(1887-1958), seorang ulama tokoh pembaru di Persatuan Islam (Persis)
berpandangan bahwa riba nasi’ah hukumnya haram sepanjang tambahan atau
kelebihan ini bersifat berlipat ganda dan eksploitatif (zhulm, aniaya) atau
memberatkan. Menurutnya riba seperti inilah sesunguhnya diharamkan yang banyak
dipraktikkan pada zaman jahiliyah.
Bersdasarkan pandangan tersebut,
menurut Hassan, bunga bank tidaklah haram. Bunga bank tidaklah mempunyai sifat
seperti riba yang berlaku di zaman jahiliyah yang berlipat ganda dan
ekspliotatif.
Abu Zahrah dan Rafiq Yunus al-Misri membuat
pembagian riba yang agak berbeda dengan umumnya ulama. Menurut keduanya riba
dibedakan atas riba yang terjadi pada hutang piutang yakni riba nasi’ah dan
riba yang terjadi pada jual beli, yakni riba nasa’ dan riba fadl.
Al-Misri menekankan pentingya pembedaan antara riba nasi’ah dan riba
nasa’ agar terhindar dari kekeliruan dalam mengidentifikasi berbagai bentuk
riba. Al-Misri juga menyatakan bahwa tidak dilakukannya pembedaan yang jelas
antara riba nasi’ah dan riba nasa’ menyebabkan kekeliruan
sebagian ulama dalam menerangkan riba. Ibn al-Qoyyim, misalnya, mendiskripsikan
riba fadl untuk menunjukkan riba kepada jual beli kemudian dengan serta
merta memandangnya sebagai sadd al-dzariyah (penutup jalan) bagi riba
dalam hutang piutang.
Riba
nasa’ terjadi ketika jual beli barter ini dilakukan tidak secara tunai,
sedangkan riba fadl terjadi manakala jual beli barter terhadap satu
jenis komoditas dilakukan dengan tidak sama dan sebanding. Sementara dengan
riba nasi’ah, ada tiga perbedaannya :
1.
Riba
nasi’ah terjadi pada hutang piutang, sedang riba nasa’ dalam jual
beli.
2.
Riba
nasi’ah adalah penundaan waktu pembayaran (kurang dengan tambahan),
sedangkan riba nasa’ merupakan penundaan waktu pembayaran dengan tanpa
tambahan.
3.
Riba
nasi’ah dapat mencakup nasa’ (penangguhan) dan fadl
(melebihkan) bersama-sama.
C.
Hadits-hadis
Mengenai Riba
عَنْ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِرِبًا
اِلاَّهَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرٌ بِالْبُرِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ وَالشّعِيْرُ
بِالشَّعِيْرِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ.
“ Dari Umar bin Al-Khatthab Radiallahu ‘Anhu, dia berkata,
Rasululloh Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,’ Jual beli emas dengan emas
adalah riba kecuali secara kontan, perak dengan perak adalah riba kecuali
dengan kontan, biji gandum dengan gandum adalah riba kecuali secara kontan,
tepung gandum dengan tepung gandum adalah riba kecuali secara kontan’.’(HR
Bukhori-Muslim).
Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli emas dengan
perak atau sebaliknya serta kerusakannya jika tidak dilakukan pembayaran secara
kontan diantara penjual dan pembeli sebelum berpisah dari tempat akad. Inilah
yang disebut musharofah. Pengharaman jual beli gandum dengan biji gandum
atau tepung gandum dengan tepung gandum serta kerusakannya, jika tidak
dilakukan secara kontan sebelum penjual dan pembeli berpisah dari tempat akad.
Tempat akad yang dimaksud disini adalah tempat berjual beli dan bertransaksi,
baik keduanya sama-sama duduk atau sambil berjalan atau sambil berkendara.
Sedangkan yang dimaksud berpisah ialah apapun yang menurut kebiasaan dianggap
sebagai perpisahan diantara manusia.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ
تَبِيْعَوْا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ اِلاَّ
مِثْلاَ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضِ وَلاَ تَبِيْعُوْا الْوَرِقَ
بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِتْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
وَلاَ تَبِيْعَوْا مِنْهَا غَا ئِبًا بِنَاجِزٍ.
“ Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu ‘Anhu,
bahwa Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Jangan kalian menjual
emas dengan emas kecuali yang sama beratnya, janganlah kalian melebihkan
sebagian diatas sebagian yang lain, janganlah kalian menjual perak dengan perak
kecuali yang sama beratnya dan janganlah kalian melebihkan sebagian diatas
sebagian yang lain, dan janganlah kalian yang tidak ada diantara barang-barang
itu dengan yang ada’.”( HR Bukhori-Muslim).
Hadis ini menunjukkan larangan menjual emas dengan emas, perak
dengan perak, baik yang sudah dibentuk (batangan) atau yang berbeda, selagi
tidak mengikuti ukuran yang syar’i, yaitu beratnya, jika tidak dilakukan
pembayaran secara kontan dari kedua belah pihak ditempat akad. Larangan
terhadap hal itu mengharuskan pengharamannya dan tidak sahnya akad.
Syaikhul-Islam ibnu Taimiyah berkata tentang seorang yang memberikan pinjaman
kepada orang-orang setiap seratus harus dikembalikan seratus empat puluh,
“Inilah yang disebut riba seperti yang diharamkan di dalam Al-Qur’an.” Dia
menyebutkan bahwa orang itu tidak mempunyai hak kecuali apa yang dia berikan
kepada mereka atau yang senilai dengannya. Adapun tambahannya, dia sama sekali
tidak berhak sedikitpun terhadapnya. Sedangkan riba yang sudah terlanjur
terjadi, maka dimaafkan. Adapun sisanya yang belum terbayarkan, maka menjadi
gugur, karena didasarkan kepada frman-Nya, “Dan tinggalkanlah sisa riba(yang
belum dipungut).” (QS Al-Baqaroh :287).
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ
بِلاَلٌ اِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرِ بَرْنِيٍّ
فَقَالَ لَهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا
قَالَ بِلاَلٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ
لِنُطْعِمَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ عَيْنُ الرَّبَا لاَ
تَفْعَلُ وَلَكِنْ اذَا أَرَدْتَ أَنْتَشْتَرِيَ فَبِعَ التَّمْرَ بِبَيْعٍ اَخَرَ
ثُمَّ اشْتَرِبِهِ.
“Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radiallahu ‘anhu, dia berkata,’Bilal
datang kepada Rasulullloh Shallallohu ‘alaihi wasallam sambil menyerahkan kurma
Barny’. Lalu Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya,’ Dari mana
engkau mendapatkan kurma ini?’ Bilal menjawab, ‘Tadinya kami mempunyai kurma
yang rendah mulutnya, lalu aku menjual sebagian darinya dua sha’ (yang bagus),
agar Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam memakannya’. Pada saat itu nabi
Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Awwah awwah. Ini adalah riba yang
sebenarnya, ini adalah riba yang sebenarnya, janganlah engkau melakukannya,
tapi jika engkau ingin membeli, juallah kurma (yang rendah mulutnya) dengan
penjualan lain, kemudian belilah dengannya (kurma yang bagus mulutnya)’.” (HR
Bukhori-Muslim).
Hadis ini menjelaskan pengharaman riba fadl dengan kurma.
Gambarannya, sebagian kurma dijual (ditukar) dengan sebagian yang lain, yang
satu lebih banyak daripada yang lain. Hadis ini dijadikan dalil pembolehan
masalah inah, yaitu menjual barang dengan secara kredit, kemudian membelinya dari
pembeli itu secara kontan dengan harga
yang lebih sedikit dari harga pertama. Dan hadis ini juga dijadikan sebagai
dalil pembolehan tawarruq, yaitu membeli barang yang nilainya seratus real
dengan seratus dua puluh secara kredit, agar barang itu dapat diambil
manfaatnya, bahkan untuk dijual dan harganya dimanfaatkan.
عَنْ أَبِيْ الْمِنْهَا قَالَ سَأَلْتُ الْبَرَاءَ
ابْنَ عَازِبٍ وَزَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَنِ الصَّرْفِ
فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَقُوْلُ هَذَا خَيْرٌ مِنِّيْ فَكِلاَ هُمَا يَقُوْلُ
نَهَى رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ
بالْوَرِقِ دَيْنَ.
“Dari Abul-Minhal, dia berkata,’ Aku bertanya kepada Al-Bara’ bin
Azib dan Zaid bin Arqam tentang sharf. Maka setiap orang diantara keduanya menjawab,
‘Rasululloh Shallallahu Alaihi Wasallam melarang menjual emas dengan perak
secara utang’.”(HR Bukhori-Muslim).
Hadis ini menjelaskan mengenai larangan menjual emas dengan perak,
perak dengan emas, yang salah diantara keduanya tidak ada barangnya. Jadi harus
dilakukan pembayaran secara kontan. Sahnya jual beli ini dengan pembayaran
secara kontan ditempat akad, karena itu merupakan sharf. Akad akan rusak jika
tidak dilakukan pembayaran secara kontan ditempat akad ialah karena tidak
bertemunya dua barang, yang termasuk alasan riba.
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ ٌقَالَ نَهَى رَسُوْلَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ
وَالذّهَبَ بِالذَّهَبِ اِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَأَمَرَنَا أَنْ نَشْتَرِيَ
الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ
كَيْفَ شِئْنَا قَالَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَدًا بِيَدٍ فَقَالَ هَكَذَا
سَمِعْتُ.
“Dari
Abu Bakrah, dia berkata,’Rasululloh Sallallohu Alaihi Wasallam melarang menjual
perak dengan perak, emas dengan emas kecuali dengan berat yang sama, dan
memerintahkan agar kami membeli emas dengan perak menurut kehendak kami’,” Dia
(rawi) berkata,”Seseorang bertanya kepadanya,’Apakah maksudnya secara kontan?
‘Dia menjawab,’Begitulah yang kudengar '." (HR Bukhaori-Muslim).
Dijelaskan oleh hadis ini mengenai pengharaman menjual emas dengan
emas, perak dengan perak yang ada selisih beratnya, karena berhimpunnya harga
dan yang dihargai dalam satu jenis ribawi. Boleh menjual emas dengan emas,
perak dengan perak, namun ada dua syarat: pertama, sama beratnya, yang
satu tidak boleh melebihi yang lain. Kedua, pembayaran secara kontan
ditempat akad. Apa yang dikatakan mengenai emas dan perak juga berlaku untuk
satu jenis ribawi, ketika sebagian dijual dengan sebagian yang lain, separti
biji gandum dengan biji gandum.
Diperbolehkannya menjual emas dengan
perak atau perak dengan emas yang berbeda beratnya, karena yang satu bukan
jenis yang lain. Begitu pula yang dikatakan untuk setiap jenis, yang dijual
dengan jenis lainnya yang bersifat ribawi, yang boleh dilakuakan dengan adanya
selisih berat diantara keduanya. Ketika menjual emas dengan perak atau perak
dengan emas, harus dilakukan pembayaran secara kontan ditempat akad. Jika
keduanya berpisah sebelum pembayaran, maka akad itu menjadi batal, karena
keduanya berhimpun pada alasan ribawi. Begitu pula yang berlaku untuk dua
jenis, yang bertemu pada alasan ribawi, yaitu takaran atau timbangan, yang
harus dilakukan pembayaran secara kontan diantara keduanya ditempat akad.
لَعَنَ رَسُوْلَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ءَاكِلَ الرِّبَا وَمُكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasululloh SAW.mengutuk pemakan
(pengambil) riba, pemberi makan dengan riba, penulisnya dan saksinya, seraya
bersabda, “mereka sekalian sama”.
Hadis menjelaskan bahwa nabi Muhammad SAW sangat tidak menyukai
para pemakan riba, yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan riba kemudian
dari hasilnya itu ia dapat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemberi makan
dengan riba maksudnya dengan harta hasil riba untuk memberi makan orang lain
atau menyumbang dengan harta hasil riba. Dan juga orang-orang yang terlibat
dalam riba tersebut, yaitu yang menulis dan yang menjadi saksi terhadap riba.
Jadi, semua yang telah disebutkan tadi adalah sama halnya dengan orang yang
berbuat riba dan akan mendapatkan siksa di akhirat kelak.
D.
Hikmah
Pelarangan Riba
Diantara hikmah
di haramkannya adalah sebagai berikut.
1.
Menghindari
tipu daya di antara manusia dan kemudaratan;
2.
Melindungi
harta orang muslim agar tidak di makan dengan batil;
3.
Motivasi
orang muslim untuk menginvestasikan hartanya pada usaha- usaha yang bersih dari
penipuan, dari apa saja yang menimbulkan kesulitan dan kemarahan di antara kaum
muslim;
4.
Menutup
seluruh pintu bagi orang muslim yang membawa pada permusuhan dan menyusahkan
saudaranya, serta membuat benci dan marah kepada saudaranya;
5.
Menjauhkan
orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba
adalah oang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan;
6.
Membuka
pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhiratnya.
E.
Hukum
Riba
Secara garis besar pandangan tentang hukum riba ada dua kelompok,
yaitu :
1.
Kelompok
pertama: mengharamkan riba yang berlipat ganda atau ad’afan muda’afa,
karena yang diharamkan al-Qur’an adalah riba yang berlipat ganda saja, yakni
riba nasi’ah, terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali
nasi’ah. Karenanya, selain riba nasi’ah maka diprbolehkan.
2.
Kelompok
kedua: mengharamkan riba, baik yang besar maupun yang kecil. Riba dilarang
dalam Islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda atau tidak. Riba yang
berlipat ganda atau ad’afan muda’afa haram hukumnya karena zatnya sedang
riba kecil tetap haram karena untuk menutup pintu ke riba yang lebih besar (haramun
lisyaduzzari’ah).
Kami sependapat kelompok kedua dasar hukumnya adalah al-Qur’an
tentang keharaman riba secara umum, baik kecil atau besar. Dari asbabul
nuzulnya diketahui bahwa ketika turun ayat tersebut, telah terjadi peraktik
riba tidak saja yang berlipat tetapi juga yang kecil. Dan dalam hal ini berlaku
kaidah al-ibrah biumumi allafzi labikhusushi al-sabab. Riba yang
berlipat merupakan keterangan riba yang membulatkan yang banyak terjadi pada
masa jahiliyah.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Riba
adalah (1) melebihkan keuntungan (harta) dari salah satu pihak dalam transaksi
jual beli atau pertukaran barang yang sejenis tanpa memberikan imbalan terhadap
kelebihan itu (riba fadl); atau pembayaran hutang yang harus di lunasi
oleh orang yang berhutang lebih besar daripada jumlah pinjamannya sebagai
imbalan terhadap tenggang waktu yang telah lewat(riba nasi’ah).
2.
Umumnya
para ulama membagi ulama menjadi dua, yakni riba fadl dan riba
nasi’ah.
c.
Riba
Fadl
Riba
fadl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan
adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
d.
Riba
Nasi’ah
Riba
nasi’ah menurut ulam Hanafiah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran
dari yang ditanggung, memberikan kelebihnan pada benda di disbanding utang pada
benda yang ditakar atau di timbang yang berbeda jenis atau selain yang di takar
dan ditimbang yang sama jenisnya.
3.
Hadis-
hadis mengenai riba banyak kita jumpai di kitab hadis Bukhori dan Muslim.
4.
Adapun
hikmah dilarangnya riba adalah Menghindari tipu daya di antara manusia dan kemudaratan,
melindungi harta orang muslim agar tidak di makan dengan batil, motivasi orang
muslim untuk menginvestasikan hartanya pada usaha- usaha yang bersih dari
penipuan, dari apa saja yang menimbulkan kesulitan dan kemarahan di antara kaum
muslim dan lain-lain.
5.
Hukum
riba secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama: mengharamkan riba yang berliat ganda atau ad’afan muda’afa,
karena yang diharamkan al-qur’an adalah riba yang berlipat ganda saja, yakni
riba nasi’ah, terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali nasi’ah.
Karenanya, selain riba nasi’ah maka diprbolehkan. Kelompok kedua:
mengharamkan riba, baik yang besar maupun yang kecil. Riba dilarang dalam
islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda atau tidak. Riba yang berlipat
ganda atau ad’afan muda’afa haram hukumnya karena zatnyasedang riba kecil tetap
haram karena untuk menutup pintu ke riba yang lebih besar (haramun
lisyaduzzari’ah).
Daftar pustaka
Al-‘Assal,
Ahmad muhammad dkk.1999.Seistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam.Bandung:
CV Pustaka Setia.
Mardani.2011.
Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi syari’ah. Jakarta: Rajawali Pers.
Muslim,
Muslihun.2014. Filsafat Ekonomi Islam, Melacak Akar Historis-Metodologis
Ekonomi Islam.
Azzam,
Abdul Aziz. 2010. Fiqh Muamalah, Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam. Jakarta
: Amzah.
Muslim,
Muslihun. 2005. Fiqh Ekonomi. Mataram : LKIM IAIN Mataram.
Labels:
makalah
Thanks for reading Makalah Studi Hadis Ekonomi (Hadis-hadis Mengenai Riba). Please share...!
0 Comment for "Makalah Studi Hadis Ekonomi (Hadis-hadis Mengenai Riba)"